Menyimpulkan 2019: The Worst Year of My Life?



Aku tahu tahun ini akan menjadi tahun yang sulit, tapi aku tidak pernah tahu bahwa akan sesulit ini.
Aku tahu aku akan mendaki gunung yang tinggi dan licin, tapi aku tidak pernah tahu bahwa gunung yang kudaki adalah gunung berapi.





Tiga puluh satu desember dua ribu delapan belas,

Tahun 2019 sangat tidak ingin saya lewati, mengapa? Karena saya tahu bahwa setelah libur semesteran usai, saya harus menjalani yang namanya PKPP (praktek kerja profesi psikologi). Ini adalah program wajib yang harus dilalui semua mahasiswa profesi psikologi, anehnya sejauh ini saya tidak pernah mendengar testimoni yang positif tentang PKPP, hehehe intinya ini adalah semester yang serem banget. Di hari terakhir di tahun 2018 rasanya enggan banget untuk melangkah. Singkat cerita sejak akhir Maret saya memulai PKPP, 4 bulan penuh saya bekerja dan saya bisa menyelesaikannya. Sebuah keajaiban dunia bahwa saya bisa bertahan hidup dan tidak kabur dari fase ini. Lalu bagaimana testimoni saya tentang PKPP? Sama dengan yang lain isinya pengalaman negatif semua. Saya tidak menikmati dan mau mati. Rasanya hidup saya direnggut selama 4 bulan itu. Lupa rasanya bahagia, sungguh rasanya tidak ada kehidupan. Tapi saya akan menceritakan suatu hal menarik, yang berperan bagi sejarah kehidupan saya.




Memanusiakan manusia

Rumah sakit jiwa. Tempat yang dihindari hampir semua orang. Anehnya dari beberapa tempat praktek, saya menanti-nanti untuk memulai praktek ditempat ini, mengapa? Awalnya penasaran aja sih, kepo. Sebelumnya, sebagai mahasiswa psikologi tentu saya sudah beberapa kali berkunjung ke RSJ, tapi ya cuma kunjungan sehari gitu, ga asik. Saya berusaha bertahan melalui hari-hari PKPP, hingga akhirnya tiba masanya untuk praktek di RSJ. Hari pertama tentu saja excited. Nggak takut? Saya berusaha buat enggak takut, tapi fail. wkwk. Takutt siss, apalagi sebagai perempuan, saya mendengar berbagai cerita "horor" dari orang yang pernah praktek di RSJ, juga banyaknya peraturan dan briefing yang diberikan dari pihak kampus maupun RSJ membuat semakin was-was dan rasanya kek bahaya banget gitu. Setelah pembagian kelompok, apesnya, saya cewek yang bertubuh mini ini ditempatkan di bangsal laki-laki. Kebayang donggg ya satu bangsal isinya 25-30 laki-laki "yang ga waras" entah w bakal jadi apa, dan saya harus hidup sebulan penuh bergaul sama mereka. Nah lohhh, bakal diapain cobaa sayaa.

Hidup 22 tahun sebagai seorang wanita, pasti pernah dong yang namanya digodain sama stranger, dan saya tahu kalo disana pasti bakal ada aja yang ngeledek, ngegombal, atau godain, and the worst case they can do anything that I can't even imagine. Intinya dari awal saya berkata pada diri saya sendiri "mereka orang gila, kalo sampe aku digodain dan marah berarti aku yang gila" prinsip itu saya pegang dari awal, dan itu mempermudah jalan saya hingga praktek saya selesai.

Hari pertama hanya orientasi, diperkenalkan ke bangsal-bangsal, dan ketika perkenalan di bangsal saya, saya melihat ada banyak banget pasien laki-laki dengan tatapan mata yang kosong, dan langsung kepikiran "mau jadi apa saya besokkk, dikerubungi segitu banyak cowo, matilah sudah". Hari kedua tiba, saatnya memasukkan diri ke kandang singa. Pas kami datang mereka sedang kayak cek tensi gitu, ada yang main di taman belakang, ada yang berjemur (gaya ala-ala dipantai gitu), ada yang naik-naik pohon, jujur, bingung apa yang harus dilakukan. Ada yang sangat aktif, ada yang diam-diam aja. Kami dibiarkan terjun ke lapangan tanpa diajari bagaimana melakukan rapport ke mereka. Sampai akhirnya saya memberanikan diri buat berkenalan satu-satu dan tentu saja sulit untuk menghafal nama mereka dalam satu hari, respon mereka terhadap kami juga berbeda-beda. Dann baru hari pertama udah digombalin dong, dikasi bunga pula. Saya berusaha menyatu dengan pembicaraan mereka yang ga ada intinya. Hari ketiga saat kami datang ada yang menyapa kami, ada yang mempersilahkan duduk, hari demi hari dilalui, jujur asik. Runtuh sudah semua cerita horor yang saya dengar dari orang-orang.

Digodain ga? iya. Dicolek-colek? sering. Bahkan ketika sedang jalan menyusur lorong bangsal, ada aja yang manggil "sayang", "cantik" entah siapa pelakunya. Saya dikatain "china", "matanya sipit", "kalo ketawa ditinggal lari". Tapi saya justru belajar banyak hal. They knew that I come from different ethnicity, different race and also different religion, I am different with most of them. Kami satu kelompok dibangsal itu ada tiga orang, teman saya yang satu mengenakan kerudung, dan teman saya yang satu berkulit gelap dan berambut keriting, iya dia dari timur. Kami bertiga berbeda, dan meskipun seakan perkataan mereka rasis, tapi mereka para pasien memperlakukan kami sama. Mereka tidak seburuk yang kami banyakan. Mendengarkan bagaimana cerita hidup mereka, dan mencoba mengerti pola pikir mereka. Pkiran saya mulai dibukakan bahwa bahwa mereka yang kita juluki dengan "orang gila" ini bukanlah sampah, banyak dari mereka yang memiliki prinsip berpikir yang lurus, dan saya pikir lebih banyak orang yang mengaku normal diluar sana yang miliki mental yang yang tidak sehat. Di tengah ke "tidak kontrolan" mereka, mereka tetap tahu apa itu berbagi, mereka tahu bagaimana menghargai, mereka tahu mana yang boleh dan yang tidak. Melihat keluar dan juga menengok kehidupan saya sendiri, sering kali kita manusia yang mengaku normal ini sulit berbagi, egois, memenangkan kepentingan sendiri, dibutakan oleh suatu pencapaian sehingga sudah lupa dengan etika kehidupan, tidak tahu lagi mana yang boleh dan yang tidak. Sering kali kita tergila-gila dengan tujuan hidup duniawi, entah itu uang, kekuasaan, popularitas, prestasi, cinta, karir, sehingga tanpa sadar kita jadi berperilaku gila, menghalalkan segala cara, melakukan yang tidak masuk akal, senggol sana sini, tidak mempedulikan orang lain.  Benarkah kita lebih normal dari mereka? Benarkah jika kita memandang mereka sampah, dan merasa kita lebih tinggi dari mereka? Mereka juga adalah manusia.

Bersyukur mendapat kesempatan sebulan penuh bergaul dengan mereka. Melihat sisi dunia yang lain, menjadi telinga bagi mereka yang tidak didengar, menilik mereka yang tidak dianggap ada. Memanusiakan manusia.

Bersyukur kalo saya boleh belajar banyak dari kehidupan mereka. Benar kalau saya lebih sehat dari mereka, tapi salah jika saya merasa lebih tinggi dari mereka. Datang kesana untuk mengobati bukan berarti saya malaikat dan mereka sampah. Kita sama-sama manusia.

Saya cukup menikmati dan bahkan merindukan masa-masa di RSJ. Selesai dari RSJ saya harus menghadapi ujian dan lalu melanjutkan pertarungan sulit yang lain. Ditengah-tengah pertarungan sulit itu, ternyata atang pertarungan yang lebih sulit lagi.




Tiga belas juni dua ribu sembilan belas,

Sesuatu yang paling saya takutkan dihidup ini, terjadi. Hingga sekarang saya tidak paham. It has to be that day? Ayah saya dirawat dirumah sakit selama delapan hari, begitu mendadak, penyakitnyapun tidak masuk akal, yang lebih tidak dapat dipahami lagi mengapa harus saat itu, mengapa harus ditengah masa PKPP saya. Tuhan lebih dari tahu bahwa hidup saya sudah sangat sulit saat situ, dan papi adalah tempat berkeluh dan menangis saya. Didunia ini papi adalah rang yang paling mengerti saya. Tapi Tuhan mengambilnya dariku. Begitu saja, secepat itu. Hari dimana Tuhan memanggil papi adalah minggu dimana saya seharusnya ujian. Seminggu setelah itu saya harus kembali ke Semarang untuk ujian susulan. Mengesampingkan semua perasaan saya, untuk bisa presentasi di depan, menyingkirkan kesedihan saya untuk bisa mengerjakan revisi. Dimana semua orang dari berbagai penjuru sedang asik merayakan duka mereka, saya membungkus ego saya, menyimpannya rapi-rapi, mencoba bernegosiasi dengan diri saya sendiri  dna berbisik "saya juga akan merayakan duka, tapi bukan sekarang saatnya".

Mengapa harus saat itu? Apakah Tuhan tidak bisa menunggu 1,5 bulan lagi ketika PKPP saya selesai? Apakah Tuhan tidak tahu bahwa hidup saya sedang tidak baik-baik saja? Mengapa harus ditambah dengan kesulitan yang lain? Apa Tuhan tidak tahu bahwa kehilangan papi adalah hal yang paling saya takutkan lebih dari kehilangan nyawa saya sendiri?

Jawabannya, Tuhan tahu. Tuhan lebih dari tahu. Tuhan lebih tahu daripada saya.




Dua puluh lima oktober dua ribu sembilan belas,

Duka saya belum berujung. Air mata saya belum habis. Di masa berkabung saya, Mak Kwat, oma kami dipanggil Tuhan. Sbelumnya tidak pernah opname, tiba-tiba masuk rumah sakit, dirawat seminggu kemudian tidak pernah lagi kembali ke rumah. Pergi dengan cepat tanpa berpamitan, mengapa semua orang begitu? Mengapa semua orang pergi terburu-buru? Tidak banyak yang tahu, saya harus melalui masa duka di dalam duka. Duka yang dibalut duka.




 

Tiga puluh satu desember dua ribu sembilan belas,

Tuhan memegang tanganku, sehingga aku bisa turun dengan selamat dari gunung berapi yang licin itu. Aku terjatuh, aku terluka, tetapi aku hidup, dan hidupku diberkati Tuhan.

Sedemikian rupa Tuhan ingin melatihku. PKPP adalah kesulitan yang ada dalam perhitungan saya, namun kehilangan orang-orang terdekat tidak ada di daftar rencana saya. Keterbatasan saya membuat saya tidak mengerti apa arti dari semua ini. Seiring berjalannya waktu bisa saja Tuhan mengijinkan saya untuk mengerti, tapi bisa saja hingga akhir hidup saya, saya tidak mengerti apa-apa. Tapi apa yang saya pandang tidak baik itu tidak mengubah fakta bahwa "semua ini baik untuk saya". Bukan musibah, bukan kecelakaan. Terlepas dari semua perasaan saya, terlepas dari bagaimana respon saya, faktanya "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu dan itu mendatangkan kebaikan" itu adalah fakta, bukan hasil rasionalisasi, bukan hasil dari usaha berpikir positif. Jadi semua yang ada padaku tahun ini baik adanya, walaupun saya memandang itu buruk, tetapi itu tetap baik untuk saya.

Jadi kesimpulannya, saya dilatih banyak hal sulit tapi tidak ditinggalkan sendirian. Saya melalui banyak hal yang sangat tidak mungkin dilakukan, namun saya dimampukan. Penyertaan-Nya terbukti, dan segala ketakutanku tidak terbukti. Melihat kebelakang, all is impossible to do, tapi hingga detik ini saya hidup, ya karna saya dimurahi Tuhan. My name is still grace, and lives only by His grace. My life theme is still grace and it doesn't change into "tragedy" or "sorrow". And what impressed me the most was that I was allowed to depend directly on my heavenly Father. So 2019 is not the worst year of my life, this is the year of grace, after grace.





Hal-hal tidak baik yang terjadi dalam hidupmu adikku, yang diluar kontrolmu, pasti dalam kontrol Allah, dan tentu mendatangkan kebaikan bagimu. Saat ini mungkin belum kelihatan, tapi saat nanti pasti akan terlihat. Mari bersyukur untuk keadaan yang kelihatannya tidak baik ini. 
 -GSH







Terimakasih untuk para pembaca, untuk orang-orang penting yang terus menopang saya dan untuk semua yang setia menyelipkan nama saya dalam doanya.
Selamat menyonsong 2020, selamat terus berlatih dalam training kehidupan.
Best regards, Grace.

Comments

  1. Luar biasa Grace...selamat menikmati kadih karunia & penyertaan Allah di thn 2020.
    Salam sayang..tante Agnes-lampung

    ReplyDelete
  2. Om GSH pasti bangga dg perkembanganmu Grace. Move on girl !

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts