Menjadi Murid dari Hari Sulit




Berawal dari kamis berakhir di hari kamis.
Berawal dari cendana, berakhir di melati.
Seminggu yang waktu itu terasa sulit, masih sulit, dan nampaknya tidak akan pernah menjadi mudah.

Jika boleh bercerita, bukan hanya situasi itu yang sulit bagiku. Menjamu sekian tamu adalah perjuangan tersendiri seorang Grace yang introvert. Namun mengapa aku banyak tersenyum? Karena sulit menangis bagiku, apalagi di depan banyak orang. Aku bukan tidak menangis, aku menangis hanya saja tidak banyak yang tahu. Aku menangis dipundak-pundak orang tertentu. Meskipun melelahkan menjumpai banyak orang, tetapi aku merasakan kasih dari semua orang yang menyempatkan untuk berkunjung, dari yang jauh, yang sibuk, yang baru berjumpa sekali, yang bahkan sudah lupa wajah papi, terimakasih untuk perhatiannya kepada papi.

Tapi memang aku bukan anak cengeng. Jika sulit, aku akan mengomel bukan menangis. Dan rasanya saat-saat itu sangat sah untuk mengomel panjang-panjang. Ingin lupakan saja bahwa aku orang dewasa.

Hari-hari itu aku ingin mengadu, berkeluh, merengek.  Disana ramai, tapi anehnya aku tak tahu kepada siapa aku harus mengadu. Pada ibuku? rasanya aku tidak tahu diri jika aku berkeluh padanya. Sudah genap kesedihannya, sudah luap airmatanya. Malahan aku beberapa kali berdebat dengan ibuku karna suatu hal, ada satu hal yang kami perdebatkan setiap hari, tak apa hal itu memang layak untuk diperdebatkan. Kakak rohanikupun tak kunjung datang, aku menanti pundaknya sepanjang malam. Aku tau ia sedang mengurus sesuatu yang tak kalah penting, aku tahu ia juga tak tahan ingin segera datang, kekhawatirannya sudah terpecah menjadi dua, memikirkan papi dan aku. Ditengah hatinya yang juga kacau, ia memantauku dari jauh. Saat itu aku merindukannya, lebih dari siapapun.

Aku banyak terluka, mungkin situasi terlalu sulit sehingga batinku terlalu peka. Namun anehnya aku terkadang merindukan masa itu. Kadang aku benci, mungkin karna lukaku yang belum mengering. Tapi kadang akupun rindu "kinda missing that week" begitu hatiku berkata. Rasanya hari-hari itu tak sepenuhnya kelam, melihat banyaknya teman-teman yang menjagaku, melihat setiap saat ada sekelompok orang yang berdoa, ketika aku melangkah menuju ruang tungggu melati, aku melihat lorong dipenuhi semua orang yang kukenal, ruang tunggu itu tak pernah sepi. Hal-hal itu menyisakan memori indah dalam ingatanku.

Sadar betul bahwa semua ini dirancang Tuhan untuk mendatangkan kebaikan, aku ingin berbagi apa yang kupelajari. Aku merasa, seminggu itu ditraining  Tuhan, training yang lebih efektif daripada training manapun. 
  1. Training doa.
    Demikian mudahnya berdoa ditiga hari pertama. Hari keempat dan seterusnya? tidak lagi. Loh bukannya saat itu satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah berdoa? ya. Tapi dihari keempat aku mulai lelah dengan semuanya, ingin semuanya segera berakhir, entah apapun itu akhirnya. Aku belajar untuk tetap berdoa meski sudah lelah untuk  meminta. Belajar untuk berdoa meski nampaknya tidak ada sesuatu yang berubah. Doaku mungkin sangat kurang dibandingkan dengan teman-teman lain, aku lebih banyak mondar-mandir demi menetralkan gundahanku, ketekunan mereka sungguh menegurku.
  2. Sikap hati
    Bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan kehendakku? Bagaimana jika apa yang aku doakan berbeda dengan kehendak-Nya? Apa sikap hati ku? Bagaimana responku? Kecewa? Tidak mau lagi berdoa? Takut untuk meminta?
    Sikap hati yang siap untuk menerima apapun jawaban Tuhan, seharusnya menjadi salah satu hal yang ikut didoakan saat meminta sesuatu, mengingat beginilah kita meminta "Tuhan aku ingin A, B, C, tapi jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku".
    Dengan keadaan ini, aku jadi tahu bagaimana sikap hatiku jika jawaban Tuhan berbeda dengan apa yang  kuminta. Aku juga belajar bahwa sikap hati adalah hal yang penting untuk ikut didoakan saat kita meminta sesuatu.
  3. Hati yang lapar akan Firman Tuhan
    Hari-hari itu mengajarkan saya, bagaimana rasanya benar-benar lapar dan ingin makan sesuatu (secara rohani). Secara jasmani aku justru memaksakan agar nasi-nasi itu bisa masuk ke mulut. Namun ditengah hilangnya nafsu makanku, aku selalu menanti-nantikan makanan rohani. "I am craving for the holy breakfast". Pagi setelah semalam tidur ngemper di rumah sakit, aku selalu menyempatkan pulang untuk mandi dan makan. Waktu itu adalah waktu yang selalu ku tunggu-tunggu, selain karena risih sama diri sendiri yang udah kumel dan ingin mandi, aku juga menantikan untuk duduk berdua berlama-lamaan dengan Tuhan. Mengadukan apa yang terjadi kemarin seharian, dan menantikan hari ini Tuhan berbicara apa. Tidak hanya berharap penghiburan, tetapi terbuka dengan apa yang Tuhan ingin katakan hari itu, dan setelah itu rasanya benar-benar dikenyangkan betul.
  4. Mengontrol emosi dan perasaan
    Masih jauh dari sempurna dalam hal ini. Ternyata sekolah psikologi bertahun-tahun tidak membuat aku pandai melakukannya. Tapi hari-hari itu aku belajar bahwa aku tidak boleh dikontrol oleh emosi, melainkan aku yang harus mengontrolnya. Bukan menahan untuk tidak menangis, tetapi rasanya tidak tepat kalau menangis disaat berkewajiban untuk menemui tamu. Ketika dokter sedang visit dan memberi penjelasan, meskipun keadaanya dikatakan memburuk tetapi rasanya tidak tepat jika menangis panik saat itu, justru tidak akan mendapat informasi dengan lengkap, justru tidak bisa bertanya apa yang ingin kutanyakan. Bukan menahan untuk tidak menangis seterusnya. Tetapi mengangis disaat keadaan sudah memungkinkan saya untuk menangis, tidak menahan emosi, tetapi mengelolanya. Belajar untuk tidak menyerahkan diri pada emosi dan perasaan, tetapi belajar untuk mengambil kendali atasnya.
Setelah kepergiannya, banyak hari terasa baik-baik saja, namun ada hari dimana merasa semua ini bukan kenyataan.  Proses saya untuk sampai pada tahap "menerima" masih panjang. Namun saya sadar bahwa Tuhan ingin mengajar melalui hari-hari sulit, baik kala itu, maupun hari-hari ini. Jangan sampai sudah merasa sulit, dan kita tidak belajar apapun, itu namanya merugi, "bo cuan" kata orang Surabaya.

Mungkin beberapa tulisan saya nampak begitu positif, namun pikiran saya tidak selalu demikian. Setelah melalui proses perenungan yang begitu panjang, maka saya bisa menulis sesuatu. Justru sering kali saya menulis dihari-hari sulit saya. Melalui tulisan ini, saya tidak ingin menggurui siapapun, melainkan saya justru ingin mengajukan pertanyaan perenungan pada diri saya sendiri, setelah di training ketat seminggu, bagaimana sekarang? Bagaimana kehidupan doa saya? Bagaimana sikap hati saya kepada Tuhan? Apakah saya masih memiliki hati yang haus dan lapar? Apakah saya masih tunduk dibawah kekuasaan emosi saya? Pertanyaan yang harus saya tanyakan pada diri saya secara rutin sebagai evaluasi.

Saya masih tidak mengerti mengapa semua ini diijinkan terjadi, dan nampaknya saya masih jauh dari mengerti. Dan bisa jadi hingga akhir hidup saya, saya tidak mengerti. Untuk itu saya memilih untuk berhenti bertanya "mengapa".  Yang paling jelas semuanya akan mendatangkan kebaikan, kebaikan yang saya rasakan sekarang adalah bisa belajar sesuatu dari keadaan sulit itu yang bisa menjadi bekal bagi kehidupan saya selanjutnya.

Demikianlah pengalaman yang sulit bagi saya, yang mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan yang lain diluar sana. Hari-hari ini masih sulit, dan saya masih terus belajar. Namun saya senang karena Tuhan memahami kesulitan saya dan tidak mengabaikannya. Jika teman-teman mengalami sesuatu yang begitu sulit, menangislah dihadapan-Nya, Ia tidak akan melewatkan airmatamu.



Kiranya kepergian papi tidak hanya meninggalkan duka, melainkan juga meninggalkan pelajaran bagi banyak orang dan kiranya kita tidak hanya berduka, tetapi juga belajar.
Selamat menjelang hari Senin,
Regards, Grace.

Comments

Popular Posts